Sutidjah, Sosok Perempuan Pendamping Dibyo Sumarto
(Pelestari Tenun Lurik)
Dalam sebuah perjalanan karir, orang memiliki cerita dan liku masing-masing. Ada yang memulainya dari awal, ada yang dibukakan jalan, ada yang tinggal meneruskan, dan lain sebagainya. Tentunya dari masing-masing jalan tersebut tak luput dari sebuah perjuangan, keuletan, keteguhan hati, ketahanan mental untuk tetap berdiri dan melangkah mencapai sebuah tujuan dan kesuksesan. Dari perjalanan tersebut tak luput pula adanya peran dari orang-orang di sekitar yang senantiasa membantu dan mendukung. Dalam kesempatan ini kita akan berbicara tentang kisah perjalanan tenun ini.
Dari berbagai sumber sejarah, tenun Nusantara, khususnya tenun lurik sudah berkembang dari sejak zaman kerajaan. Beberapa di antaranya mengatakan bahwa tenun lurik ini sudah ada sejak dari zaman kerajaan Majapahit. Dari cerita rakyat mengatakan bahwa konon prajurit Majapahit mengenakan baju berwarna hitam dan di lengannya terdapat garis putih strip tiga. Baju prajurit itu berkembang dari zaman ke zaman hingga sampai saat ini yang masih dijumpai yaitu dikenakan oleh prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat seperti brigade Mantrijero, Jogokaryo, Patangpuluh, dan juga Abdi Dalem. Sehingga bisa dikatakan perkembangan tenun lurik ini tak lepas dari perjalanan kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di Nusantara.
Di Yogyakarta sendiri, tenun lurik berkembang di daerah-daerah yang di antaranya kemudian tumbuh menjadi sentra tenun, seperti Moyudan, Godean, Pengkol, Krapyak, Prawirotaman, dan lain sebagainya. Beberapa sentra tenun lurik tersebut masih bisa dijumpai pada era tahun 1970an sebelum kemudian berangsur surut di tahun-tahun kemudian. Ada beberapa faktor penyebab hilangnya sentra tenun dan yang paling dirasakan adalah munculnya produk tenun mesin di pasar yang dijual dengan harga yang lebih murah. Sehingga beberapa pengrajin ada yang kemudian beralih ke sektor industri batik yang kiranya masih bisa laku di pasar. Tak heran kemudian seperti di daerah Prawirotaman dan sekitarnya sekarang ini kemudian beralih menjadi sentra industri batik.
Dari beberapa daerah tersebut ada yang sampai sekarang ini masih menggeluti kerajinan tenun lurik, yaitu di daerah Krapyak Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Kurnia Lurik, didirikan oleh Dibyo Sumarto pada tahun 1962 menjadi salah satu usaha yang masih bertahan sampai saat ini yang masih bertahan untuk memproduksi lurik di tengah terpaan gelombang pesatnya perkembangan industri tekstil modern. Berawal dari seorang buruh tenun, Dibyo Sumarto memutuskan untuk mendirikan tenun sendiri di rumahnya yang sebelumnya bekerja di sebuah pabrik tenun di daerah Danunegaran yang juga sudah berhenti produksi untuk saat ini.
Untuk memulai usahan baru, tentunya tidaklah mudah dan berjalan dengan mulus. Banyak hantaman dan terpaan yang harus dilalui untuk tetap bertahan di tengah industri tenun lainnya gulung tikar. Berbekal kecintaannya pada tenun, Dibyo Sumarto memutuskan untuk tetap memproduksi tenun di tengah maraknya perkembangan industri tekstil modern dan batik. Ada sosok yang mendampingi dan menguatkannya, tak lain yakni istrinya sendiri, yaitu Sutidjah. Pasangan suami istri ini memang dari awal menjalani kehidupan berumah tangga sudah terlatih untuk selalu bersama saling menguatkan, bantu membantu, berawal dari berjualan garam sampai berjualan mengumpulkan blarak (daun kelapa yang sudah kering) untuk kemudian diambil lidinya.
Dibyo adalah sosok yang tekun dalam menenun, Sutidjah mendampingi. Ibarat seorang tukang, bisa bekerja optimal ketika ada laden-nya (pembantunya). Ketika Dibyo menenun, Sutidjah selalu ada di sampingnya sambil memintal benang untuk dijadikan pakan tenunan. Keduanya saling bekerjasama, saling mengerti satu sama lain, dalam satu tujuan bersama, yakni terciptanya sebuah kain tenun lurik. Tak hanya berhenti sampai di situ, pasangan suami istri ini memang benar-benar saling melengkapi. Dibyo adalah sosok orang yang pandai dalam meproduksi tenun, Sutidjah pun juga pandai dalam hal berjualan dan menawarkan kain tenun. Produksi di jalani bersama, berjualan pun dijalani bersama pula. Tak heran pasangan suami istri ini rela bersepeda berboncengan menawarkan kain tenun bahkan sampai Muntilan yang berjarak tempuh lebih dari 30 km. Semuanya dilakukan dalam satu tujuan yang sama, untuk bertahan hidup, dan juga atas dasar kecintaannya pada tenun ini untuk tetap ada.
Hari-hari dilalui, berbagai cobaan dihadapi, berkat kegigihan dan keuletan, tenun yang dijalaninya terus berkembang hingga bisa mempekerjakan orang-orang, memiliki pabrik sendiri dirumah, membuka toko, juga memiliki kios di pasar Beringharjo. Perjalanan kesuksesan Dibyo dalam mempertahankan tenun lurik, di tengah indutri tenun lurik lainnya yang gulung tikar, memang tak lepas dari peran Sutidjah, istri yang setia mendampingi dan menguatkannya. Tak heran ketika kemudian pada tahun 2000, Sutidjah istrinya terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, Dibyo seakan terlihat patah semangat dalam meneruskan usaha tenun ini. Tenun ini dibiarkan berjalan apa adanya, tak banyak lagi inovasi, tak banyak lagi harapan, hanya sebatas berjalan menunggu bertemu kembali dengan istri yang selama ini setia mendampingi. Beruntung pasangan suami istri ini memiliki anak-anak yang kemudian mampu mengambil peran menggantikan keberadaan Sutidjah untuk kemudian bersama membantu Dibyo dalam meneruskan usaha tenun ini sehingga masih bisa bertahan hingga saat ini.
Delapan tahun kemudian, yaitu pada tahun 2008, Tuhan kembali memanggil Dibyo Sumarto. Beliau meninggal pada usia 84 tahun. Kisah kehidupan pasangan suami istri ini akan menjadi salah satu saksi perjalanan hidup, tentang keberadaan tenun lurik ini, dimana ada suatu masa tenun ini diambang kepunahan. Namun berbekal kecintaan pada tenun ini, berkat kegigihan, keuletan, dan juga kesabaran, tenun lurik ini masih ada hingga saat ini. Masih bisa kita rasakan. Sebagai generasi penerus, harus kita jaga bersama, bahwa tenun ini adalah bagian dari warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.
Jussy Rizal, 12 Mei 2020
(Didedikasikan untuk mengenang Haul ke-20 Simbah Putri Sutidjah Dibyo Sumarto)