(Jussy Rizal, 13 November 2013)
Ketika seorang seniman memulai karyanya, tentu ia tuangkan beragam pemikiran yang ada dibenaknya untuk bisa menghasilkan karya seni yang menakjubkan. Tentunya, di dalamnya sangat tersirat beragam pesan yang mungkin hendak ia sampaikan kepada khalayak luas. Ini adalah wujud karya, yang membutuhkan sebuah proses. Nilainya terletak pada proses ini, dan bukan sekedar wujud jadinya.
Orang yang tak bisa menghargai sebuah karya tentunya akan berpikiran sangat sempit. Memandang dengan sudut pandang sepintas. Mencoba membuat tandingan karya, tentunya hanya sekedar duplikasi, tapi menurut kami ini bukan sebuah bentuk karya.
Begitupun halnya dengan para seniman lain, pengrajin, musisi, dan lain sebagainya. Mereka yang berjuang mencapai karya, bukan lagi dihargai, namun tak sedikit dari karya mereka yang dijiplak dengan beragam model dan cara.
Kita menikmati sebuah musik. Akan berbeda ketika kita hanya sekedar mendengarkan dibanding kita mengenal musisinya, karna dengan itu kita bisa lebih menjiwai musik tersebut. Begitu pula dengan karya lain, seperti batik. Kenalilah asal mulanya, prosesnya, maka kita akan semakin menghargai karya warisan budaya bangsa ini.
Lurik,
Sepintas hanya wujud lajuran garis. Orang mudah saja untuk membuat ataupun menjiplaknya. Namun, mereka ini hanya bisa melihat, namun tidak bisa merasakan, atau bahkan menjiwai. Kenapa hanya garis, bukan motif, tekstur, atau bahkan gambar. Yah, inilah Lurik. Dari sini tersirat makna kesederhanaan. Dari kesederhanaan motif, maka muncullah jiwa sederhana bagi pemakainya, bagi mereka yang menjiwai, bukan hanya sekedar melihat, namun tidak merasa.
Lurik, yang terhilangkan dari catatan sejarah budaya bangsa
Berbeda dengan saudara yang satunya, yakni batik. Banyak kita jumpai buku-buku dan juga prasasti yang menerangkan tentang batik ini. Lalu catatan tentang lurik kenapa seakan lenyap. Karena disinilah awal bukti yang menegaskan akan kesederhanaan Lurik. Sebuah pakaian yang dari awal mulanya hanya dipakai untuk kalangan rakyat jelata, yang tidak mengenal baca dan tulis, apalagi dari mereka sempat membuat peninggalan prasasti tertulis. Hanya bermodal cerita dari nenek moyang, dari generasi ke generasi, cerita dan karya Lurik ini mampu bertahan. Inilah wujud kesederhanaan karya, namun orang yang memahami akan mampu menilai, inilah wujud karya peninggalan budaya bangsa yang patut untuk tetap dipertahankan.