Mereka yang merajut benang untuk menyambung hidup…
Pagi ini nampak hujan turun di desa kami. Kami syukuri ini sebagai nikmat Illahi. Ku kayuh sepeda tuaku dengan berselimut mantel menutupi tubuhku dari ujung kepala hingga bagian dari tubuhku, meski sebagian tubuhku tetap basah. Yang penting kepalaku bisa terlindung dari air hujan, maklum usiaku sudah menginjak kepala 6 (atau sudah lebih dari 60 tahun). Namun, semangatku tak pernah lelah untuk menyambung hidup ini, mengais rezeki. Ku tak peduli pada mereka yang setiap hari muncul dilayar televisi milik tetangga kami, mereka yang dengan pakaian rapi selalu berbicara tentang apa yang aku tak tahu, dan mereka yang duduk di bangunan megah itu mendebatkan apa yang aku tak tahu pula. Yang aku tahu hanyalah keluargaku bisa makan hari ini, dan apakah mungkin masih bisa makan di hari esok.
Hanya berbekal keterampilan yang aku miliki, berpenghasilan pas-pasan, aku mencoba tersenyum dirumah ini. Rumah dimana aku berbagi tawa dan derita bersama teman-teman senasib. Ku parkir sepeda tua ini berjejer bersama sepeda-sepeda tua yang lain, maklum ditempat kerjaku, dirumah ini, sebagian besar masih menggunakan sepeda tua sebagai alat transportasi, dan hanya beberapa orang tak lebih dari sepuluh orang yang sudah menggunakan motor. Maklum motor masih menjadi barang yang sangat mewah bagi kami.
Kami mulai bekerja pukul 8 pagi. Ada beberapa dari kami yang sudah mulai menghentakkan tenun (alat kerja dipabrik kami) sebelum pukul 8. Maklum, kami sudah tua, tenaga yang kami punya sudah sangat terbatas. Kalau kami berangkatnya siang hari, mungkin kami hanya mampu menenun beberapa meter kain saja yang itu mungkin tidak cukup untuk makan keluarga kami, karena sistem upah dipabrik ini adalah borongan atau berapa meter kain yang dapat kami tenun disetiap harinya.
Dari benang-benang yang berjajar itu mencoba kami rajut, kami tenun menjadi sebuah kain. Dengan penuh kehati-hatian kami menenun agar kain yang kami hasilkan dapat menjadi kain yang pantas untuk dipakai. Kami sangat berharap, orang-orang mau memakai kain kami, kain yang kami buat dengan keringat kami, karena itu semua kami lakukan untuk menyambung hidup keluarga kami.
Kami hanya bertekad dalam satu tujuan. Kami bisa berikan yang terbaik untuk orang-orang disekitar kami. Meski kami tak tahu persis, apakah kain yang kami buat mampu laku dipasar besar, pasar dimana orang-orang kaya itu membelanjakan uangnya. Maklum, kami tak kuasa untuk masuk di pasar itu (Mall.red). Pasar yang sangat megah, tentunya dengan barang-barang yang dijualnya yang tak mampu kami beli dengan jangkauan penghasilan kami.
Kami hanya selalu berdoa pada Tuhan. Semoga apa yang kami kerjakan dihari ini menjadikan berkah buat kami, terlebih syukur-syukur bisa bermanfaat untuk orang lain. Dan kami juga berdoa semoga mereka saudara-saudara kami, orang yang tinggal di negeri ini mau menggunakan kain hasil rajutan kami. Meski sangat sederhana, tapi kami tulus membuat kain ini untuk kami persembahkan buat negeri sangat kami cintai. Bagi kami, apa yang kami lakukan adalah warisan leluhur kami yang sangat kami hormati, dan ini sebagai wujud bakti kami untuk negeri ini.
(Jussy Rizal, 21 Maret 2012)